Pertanian Indonesia

03 April, 2015

Dinamika populasi tikus di hamparan sawah teknis



Pendahuluan
Di dalam konteks teknologi pengendalian dan pengelolaan hama tikus di hamparan sawah, berbagai upaya, teknologi atau apapun namanya yang bertujuan untuk mengurangi populasi dengan jalan membunuh tikus dengan berbagai cara  ataupun dengan cara menghalangi dan mengusir selama ini tidak pernah memberikan hasilnya yang nyata dalam arti bisa diterapkan petani dan berkelanjutan. Berapa ribu ekor tikuspun yang mati karena diracun, ditangkap, dibunuh, diusir  atau perlakuan2 lain, relatif tidak pernah berpengaruh pada pengulangan serangan dan luasannya  pada tahun2 berikutnya pada hamparan atau bahkan petakan yang sama.
Pengendalian populasi dan serangan tikus semestinya bisa dilakukan  dengan lebih baik bahkan dengan berprinsip pada perlindungan tanaman, pengendalian tikus bisa dilakukan tanpa harus membunuh seekor tikuspun dengan biaya yang relatif murah dengan hasil pengendalian yang lebih pasti. Untuk dapat melakukan pengendalian populasi tikus  dengan baik ada banyak hal yang mungkin perlu diketahui  dan dipelajari oleh para petugas lapangan dan kelompok2 tani, salah satunya adalah Dinamika populasi tikus dan perilakunya ”in situ” menyangkut bagaimana  cara tikus bertahan, berkomunikasi, menyerang dll.
Dengan memahami dinamika populasi dan perilakunya, para petugas lapangan dan kelompok tani bisa menentukan sendiri cara pengendalian hama tikus yang lebih praktis dan efisien untuk daerahnya masing2 yang bersifat spesifik.
Adapun beberapa hal menyangkut dinamika populasi dan perilakunya di lapangan di dalam konteks pengelolaan hama tikus diantaranya sebagai berikut
Dinamika populasi
1.Komunikasi di dalam komunitas tikus
Salah satu faktor yang sangat mendukung survivalitas dan mobilitas tikus di habitat aslinya ( in situ) adalah jejak2 yang ditinggalkan oleh sesama tikus, dimana setiap ekor tikus akan selalu meninggalkan  jejak yang memberikan informasi tertentu kepada tikus lain yang menemukan jejak tersebut. Ada 2 macam informasi yang sudah dipelajari  yaitu informasi mengenai adanya sumber pakan yang memadai dan aman (Jejak pakan)  dan informasi adanya ancaman (Jejak bahaya).
1.1.  Jejak pakan
Kemanapun tikus berjalan untuk mencari sumber pakan akan selalu mengikuti jejak lama dan  meninggalkan jejak2 baru yang akan membawanya kembali ke sarangnya. Jejak yang terbentuk mirip keringat atau minyak dengan bentuk tidak teratur yang berpasangan mirip testis, karena memang  berasal dari sekitar testis. Jejak ini sulit dilihat secara visual karena transparan dan sangat tipis, tetapi diatas kain kover oskar berwarna hitam jejak ini terlihat sangat jelas.
Pada saat tikus sudah mendapatkan makanan yang memadai, jejak yang ditinggalkan nampak lebih tebal dan semua tikus disekitarnya yang menemukan jejak ini akan mulai mengikuti jejak ini  ke tempat sumber pakan, sehingga semakin lama jejak yang ditinggalkan ini akan semakin tebal dan berbau sangat menyengat.
Di tanah, kayu, plastik atau bahkan lantai, jejak ini bisa bertahan sangat lama yang belum bisa diketahui  berapa tahun karena dari pengamatan eksperimen, jejak yang ditutup selama 4 tahun (1 siklus eksperimen), saat dibuka ternyata masih bisa dikenali dan tikus yang datang kemudian akan lewat tepat diatas jejak lama.
Percobaan untuk mencuci jejak baru diatas kain oskar berkali2 menggunakan detergen tidak mampu menghilangkan informasi yang tertinggal, meskipun secara visual berhasil menghapus jejaknya, tetapi tikus2 yang datang kemudian tetap masih mampu mengenalinya.
Di lapangan masalahnya kurang lebih sama bahkan lebih jelas, jalan tikus yang berada di semak2 atau rerumputan pada dasarnya adalah jejak pakan yang akan bertahan sampai dengan waktu yang tidak bisa diprediksikan karena  tidak ada gulma yang bisa tumbuh pada pada jejak ini. Pada musim hujan dimana gulma tumbuh subur dan tebal, tetapi jejak tikus tetap masih mudah ditemukan.
Jejak pakan  bisa dikatakan merupakan jalur kehidupan utama komunitas tikus yang  abadi yang menghubungkan sarang ataupun daerah  hunian  dengan petak2 pertanaman  bahkan lebih dan itu juga mengubungkan hamparan satu dengan hamparan lain yang berjauhan.  Meskipun satu ketika populasi tikus di satu tempat bisa dipastikan total dikendalikan tetapi  pada kesempatan atau musim atau tahun berikutnya tikus2 dari hamparan lain tetap akan datang kembali dan memanfaatkan jalur pakan lama.
Pada petak atau hamparan yang pernah terserang tikus, bisa dipastikan ada jejak pakan dan selamanya akan beresiko dengan  serangan tikus.
Di dalam keadaan berjalan dan berlari tikus tidak mengandalkan indera mata atau sekedar indera penciuman biasa, tetapi lebih mengandalkan indra penciuman mirip kelelawar. Sepanjang berada diatas jejak pakan, tikus bisa  berlari sangat cepat dan  bisa masuk lobang dengan tepat tanpa kesulitan dan tanpa ada gerakan mengurangi kecepatan.   Di dalam percobaan dengan menutup lobang,  pada saat tikus tidak menemukan lobang dan lepas dari jalur pakan akan kehilangan orientasi, tidak bisa berlari cepat dan mudah ditangkap.
Serangan tikus akan ditentukan oleh jejak pakan yang ditinggalkan oleh tikus yang pertama kali mendapatkan sumber pakan yang memadai dan aman, dalam arti tikus tersebut bisa kembali ke sarangnya. Adapun urut2an peristiwa serangan tikus dapat dijelaskan secara sederhana sebagai berikut:
Sesaat setelah musim kawin dimulai, populasi tikus mulai bergerak soliter menyebar mencari sumber pakan ke semua arah yang pernah dilalui dengan mengikuti jejak lama. Sebelum mendapatkan pakan yang memadai, pergerakan populasi tikus masih belum terarah dan mereka kembali ke sarangnya masing2 tanpa meninggalkan jejak yang berarti. Beberapa  hari kemudian, setelah satu atau beberapa ekor tikus  mendapatkan sumber pakan yang aman, pada saat kembali ke basisnya akan meninggalkan jejak yang  memberikan informasi adanya sumber pakan di satu tempat yang aman.
   
Gambar : Sketsa awal penyerangan tikus
 Secara bertahap tikus2 lain  yang menemukan jejak tersebut akan mengikuti jejak pendahulunya ke sumber pakan tersebut dan dalam waktu beberapa hari mulai terjadi konsentrasi populasi di titik2 serangan dan gejala kerusakan mulai terlihat, begitu seterusnya sampai terjadi kerusakan yang meluas.
Kalaupun tikus yang datang semuanya tertangkap, tetapi beberapa hari kemudian akan terus datang tikus2 baru akan menuju ketempat semula. Berdasarkan kenyataan ini , serangan tikus pada dasarnya adalah telah terjadi konsentrasi populasi tikus ke titik2 tertentu atau titik serangan
   Gambar: Sketsa tahap serangan
 Serangan atau populasi  tikus yang masuk ke daerah konsentrasi tidak akan berpindah ke tempat lain sepanjang sumber pakan masih cukup. Mereka akan berpindah mencari tempat lain apabila pakan sudah tidak memadai lagi dan masa kawin belum selesai.
Sebagai catatan, petakan yang sudah pernah terserang tikus, berpotensi terserang kembali pada tahun2 berikutnya, sedangkan yang belum pernah terserang tikus sama sekali  relatif aman karena  tikus hanya menyerang petakan yang pernah terserang.
1.2. Jejak bahaya
Pada saat ada seekor tikus mengalami tekanan fisik yang menyebabkan  kesakitan   akibat serangan binatang lain, dipukul, atau akibat makan racun akut,  akan mengeluarkan air seni yang bisa dikenali dengan baik oleh tikus lain (jejak bahaya) meskipun bangkainya dibuang dan bentuk respon tikus yang menemukan air seni ini bervariasi.   1. Dalam keadaan berlari kencang, beberapa cm sebelum mencapai titik tersebut,  seekor tikus akan bereaksi dan meloncat membentuk gerak peluru tepat di atas titik tersebut. 
2. Dalam keadaan berlari dan didepannya ada penghalang, reaksinya adalah  membuat gerakan meloncat berbalik arah 
3. Dalan keadaan berjalan pelan, beberapa cm sebelum mencapai titik tersebut,  tikus akan mengubah arah mencari tempat serangan baru atau berjalan kembali ke tempat asal.
Bedanya dengan jejak pakan, jejak bahaya ini hanya bertahan beberapa hari saja, bahkan dengan mencuci bekasnya atau adanya hujan, jejak bahaya akan langsung terhapus dan setelah itu tikus yang datang berikutnya akan kembali melalui jalur tersebut. Fenomena jejak bahaya ini sebetulnya sudah banyak terjadi di dalam kehidupan sehari hari, hanya saja tidak diperhatikan.
Sebagai contoh:
Perangkap tikus yang menggunakan per umumnya hanya akan berhasil sekali saja dalam waktu tertentu,  setelah waktu itu  tikus bisa tertangkap lagi,  akan tetapi apabila setiap ada tikus tertangkap langsung dilakukan pencucian, dalam waktu singkat akan ada tikus lagi yang tertangkap
Di lapangan ada kepercayaan petani, bahwa apabila diberi umpan dengan racun akut tikus akan mengamuk dan serangannya akan meluas. Awalnya kepercayaan ini dianggap berbau mistik, tetapi dengan dikenalinya jejak bahaya ini, apa yang menjadi kepercayaan masyarakat tempo dulu masuk tidak berlebihan dan logis.
2. Perioda serangan
Serangan tikus pada tanaman padi atau  tanaman pangan lainnya tidak terjadi setiap saat, tetapi pada saat2 tertentu yaitu pada saat musim kawin. Pada saat musim kawin usai, populasi tikus hanya menimbulkan sedikit kerusakan, kecuali  menjelang puncak musim kemarau, meskipun aktivitas merusaknya rendah tetapi populasi arealnya telah mencapai  maksimum ditambah dengan kerusakan oleh tikus anakan.

Berbeda dengan yang terjadi di laboratorium dimana dalam waktu satu tahun seekor induk bisa melahirkan sebanyak empat kali setahun, di lapangan masa kawin tikus yang bisa dikenali adalah 2 kali selama satu tahun, yaitu antara bulan November – Januari dan antara bulan April-Juni. Musim kawin tikus umumnya terjadi secara simultan pada cakupan wilayah yang sangat luas, sampai dengan antar pulau, pada daerah yang pola curah hujan sama.
Di bawah kondisi normal, paska kemarau normal, pada musim kawin pertama populasi areal tikus sangat rendah dan intensitas kerusakannya sangat rendah sehingga relatif  tidak pernah terdeteksi, kecuali areal sawah yang terletak di dekat sumber2 air seperti rawa2  dan reklamasinya.
Musim kawin kedua atau musim puncak serangan tikus adalah pada awal musim kemarau, karena  pada saat itu sudah terjadi akumulasi populasi areal selama satu musim tanam dan serangan tikus yang menjadi masalah serius setiap tahun adalah serangan pada musim kawin kedua.
Musim kawin tikus selalu bersamaan dengan musim kawin anjing, sehingga pada saat anjing jantan mulai ribut mencari pasangan, populasi tikus di sawah juga mulai aktif mencari pasangan, artinya perioda serangan tikus telah dimulai. Di dalam hal ini perilaku anjing bisa digunakan sebagai indikator awal serangan tikus yang sangat valid dan belum pernah berubah selam 30 tahun pengamatan.
Musim kawin tikus di awal kemarau dimulai pada bulan April dan seringkali dimulai pada hari2 istimewa seperti Selasa Kliwon dan Jum’at kliwon di sekitar perioda purnama. Dengan memasang umpan tanpa racun di sekeliling hamparan jauh sebelum musim kawin dimulai dan dengan pengamatan harian akan bisa diketahui waktu yang pasti kapan populasi tikus mulai bergerak.
Akhir musim kawin tikus ditandai dengan ditutupnya lubang2 persembunyian dengan tanah yang berarti tikus2 betina segera melahirkan dan pada saat itu serangan hampir sepenuhnya berhenti (cease fire). Fenomena ini dikenali dengan baik oleh petani tradisional dengan istilah ”tikus ngudit atau ngunthuk”.

Di dalam banyak kasus, serangan tikus masih menyisakan beberapa baris tanaman saja di tepi pematang yang sering ditafsirkan sebagai bagian dari perilaku tikus  yang tidak menyukai tempat terbuka dan salah satu anjuran dimasa silam yang berhubungan dengan hal ini adalah mengurangi satu barisan tanaman  setiap beberapa baris, yang dikenal dengan istilah “Legowo”.  Salah satu sifat tikus adalah sangat sensitif dengan suara frekuensi tinggi sehingga  tikus tidak makan tanaman di bagian tepi adalah sematamata menghindar dari gangguan suara dengan frekuensi tinggi yang  ditimbulkan oleh berbagai jenis serangga yang berada di pematang sawah seperti orong2, jangkrik, gangsir, belalang dll. Pada petakan2 yang menggunakan insektisida intensif, pada saat terjadi serangan  tikus hampir2  tidak menyisakan tanaman tepi.
Berdasarkan pada masa kawinnya di musim kemarau, besarnya kehilangan hasil akibat serangan tikus sangat ditentukan oleh waktu tanamnya menurut sistem kalender. Tanaman padi dengan masa tanam bulan April memiliki resiko kehilangan hasil paling tinggi dan  pertanaman bulan berikutnya secara gradual resikonya semakin rendah. Petani tradisional sangat memahami hal ini, sehingga program percepatan tanam di daerah endemik tikus untuk meningkatkan IP sampai dengan 300%  umumnya tidak dipatuhi karena mereka sadar betul resikonya. Para petani umumnya  mulai menanam padi  sekitar akhir April dimana semakin mundur saat tanamnya rekoveri akibat serangan tikus semakin tinggi.
3. Perioda ”momong”  (mengasuh anak)
Pada saat tikus kecil sudah mulai bisa berjalan, mereka akan ikut kemanapun induknya pergi sampai dengan saatnya disapih.  Pada perioda ini kerusakan tanaman lebih banyak disebabkan oleh tikus kecil yang mulai belajar memanjat batang padi dan mengerat leher malai padi, akibatnya malai padi yang menjelang dipanen berserakan dibawah. Pada saat induknya mulai berjalan mereka turun dan naik lagi saat induknya berhenti, begitu seterusnya, sehingga dari satu induk dengan minimal 6 ekor anaknya, kerusakan yang diakibatkan sudah bisa diperkirakan. Kasus kerusakan oleh anakan tikus lebih banyak terjadi pada musim kemarau, pada pertanaman yang masa tanamnya paling akhir, sedangkan di musim hujan kasus ini jarang ditemukan.
Kasus ini sudah sebenarnya sudah dikenali dengan baik oleh petani masa lalu yang menggambarkan kerawanan situasi akibat serangan tikus pada masanya sebagai akibat adanya yang ”momong” atau yang mengasuh, hanya saja istilah momong ditafsirkan oleh generasi berikutnya sebagai sesuatu yang berbau mistik.
4, Perioda emigrasi dan depopulasi
Di laboratorium dari sepasang tikus selama setahun akan menghasilkan populasi tikus sebanyak 2000 ekor lebih dan sulit dibayangkan apabila kondisi di laboratorium terjadi juga di lapangan, pasti tidak akan pernah ada tanaman padi atau tanaman pangan lainnya. Kenyataan di lapangan luasan serangan tikus hampir konstant setiap tahun, kalaupun ada perbedaan pada data statistik itu lebih disebabkan oleh cara pengambilan data di lapangan yang tidak obyektif dan adanya perubahan jadwal tanam tahunan atau terjadi penyimpangan pola curah hujan.
Sesaat setelah panen pada musim kemarau (gadu), saluran irigasi telah ditutup dan sawah mulai kering populasi areal tikus mulai bergeser ke daerah yang lebih rendah dan terus bergerak ke hilir mengikuti ketersediaan air jauh dari lokasi awalnya.
Pada puncak kemarau, dimana suhu permukaan tanah mencapai puncaknya dan gulma telah kering, sangat sulit menemukan seekor tikuspun di lahan sawah teknis dan  semua lubang tikus  tidak berpenghuni. Dalam satu kesempatan, di tengah malam pernah dijumpai populasi tikus dalam jumlah luar biasa  banyak berkumpul memenuhi saluran pembuangan sepanjang beberapa ratus meter. Tikus2 ini hanya berjalan kian kemari berdesak desakan dan tidak mengeluarkan suara sedikitpun dan sayangnya peristiwa ini hanya terjadi satu malam saja.
Pada saat air betul2 habis, dibawah kondisi kemarau panas dan kering  sifat sosial tikus hilang dan yang muncul adalah sifat kanibal, dimana tikus yang lemah akibat panas dan haus akan menjadi mangsa tikus2 yang lebih sehat dan populasi areal tikus yang survive akan menjadi populasi areal awal di awal musim penghujan.
Di dalam percobaan simulasi, tikus yang tidak mendapatkan air dalam waktu beberapa hari akan mati, meskipun pakan masih banyak dan apabila terdapat lebih dari satu ekor tikus dalam satu ruang (sangkar) peristiwa kanibalisme akan terjadi.
Setinggi apapun tingkat populasi areal tikus di musim kemarau, pada awal musim hujan   akan kembali pada posisi awalnya, sebaliknya, sebanyak apapun tikus yang berhasil ditangkap pada gerakan gropyokan di akhir musim kemarau, pada awal kemarau berikutnya populasi arealnya tidak jauh berbeda dengan kemarau sebelumnya.
 5. Perioda migrasi
Setelah beberapa kali turun hujan menjelang  awal musim hujan dan rumput sudah mulai menghijau, secara bertahap populasi tikus mulai berdatangan dan mulai menghuni lubang2 lama yang kosong dan masa kawin pertama dimulai.
 6. Faktor pembatas dan musuh alam
Tikus hampir2 tidak mempunya faktor pembatas efektif yang berasal dari kelompok living organism, seperti predator, pathogen dll. Pada tanaman pangan umumnya,  burung hantu, ular, kucing  dll., hanya sekedar memangsa tikus pada saat lapar dan setelah kenyang mereka tidak aktif. Hewan2 tersebut meskipun dikatakan sebagai musuh alam tetapi tidak berpengaruh  terhadap pengurangan luas maupun kasus serangan setiap tahun.
Berbeda halnya dengan anjing, yang mungkin merupakan satu-satunya hewan yang sangat  efektif untuk mengendalikan tikus,  anjing tidak makan tikus dewasa, mereka hanya sekedar memburu dan membunuh saja tetapi sangat menyukai tikus2 kecil yang masih berwarna merah. Anjing yang terlatih mampu memburu dan menangkap beberapa ekor tikus dalam waktu singkat di tengah pertanaman padi, yang tidak mungkin dilakukan oleh hewan2 lain.
Faktor pembatas efektif populasi tikus di hamparan adalah curah hujan yang berhubungan dengan ketersediaan air, sumber pakan dan kanibalisme. Di akhir musim kemarau normal dan kemarau panjang, berapapun banyaknya populasi tikus pada saat itu,  pada musim berikutnya, musim hujan tidak pernah menimbulkan masalah yang berarti, yang berarti populasinya di awal musim hujan sangat rendah dan ini merupakan fenomena rutin. Suatu perkecualian adalah hamparan sawah di tepi saluran pembuangan, di tepi rawa atau reklamasinya.
Pada saat terjadi penyimpangan cuaca, dimana curah hujan tinggi terjadi  sepanjang tahun, dengan atau tanpa disertai dengan munculnya fenomena la nina, populasi tikus di akhir musim kemarau sebagian atau semuanya akan menjadi populasi awal di musim hujan dan  tikus sudah akan menjadi masalah sejak musim hujan sampai dengan musim berikutnya musim kemarau. Di bawah kondisi curah hujan tinggi di musim kemarau, vegetasi gulma di sawah bera atau disekitar sawah cukup lebat yang akan menjadi sumber pakan tikus dan dengan survivalitas tinggi populasi tikus  masih bertahan di sekitar petakan2 endemik.
Contoh kasus besar yang berhubungan dengan penyimpangan cuaca adalah peristiwa munculnya fenomena la nina tahun 1998 dimana sepanjang tahun 1999 luas serangan  tikus di seluruh daerah endemik tikus sangat tinggi.


 
Rangkuman:
Dari uraian diatas, ada beberapa gambaran yang lebih jelas menyangkut pengendalian tikus dan informasi lapangan yang proporsional  sebagai berikut:
1.Pengendalian
1. Berdasarkan pada dinamika populasinya, upaya2 pengelolaan dan pengendalian tikus dan ujicoba2 yang relevan di lapangan bisa direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih menyangkut cara, waktu, bahan, alat, lama kegiatan, tenaga pelaksana yang diperlukan, metoda evaluasi dll.
2. Pengendalian tikus bisa dilakukan dengan baik tanpa harus membunuh satu ekor tikuspun, cara ini merupakan alternatif di daerah2 sentra beras dimana sebagian petani atau masyarakat yang dengan keyakinannya menolak untuk membunuh.
3. Setelah panen di musim kemarau tidak penting untuk melakukan gropyokan, karena alam telah mengatur keseimbangannya, kecuali apabila pada saat itu terjadi curah hujan berkepanjangan sampai dengan puncak  musim kemarau dan rumput di lahan masih segar.
4. Penyimpangan curah hujan di satu daerah endemik dan informasi munculnya  fenomena la nina, bisa digunakan sebagai dasar peramalan untuk mengantisipasi serangan tikus pada musim berikutnya .
2. Informasi yang perlu dikoreksi
1. Istilah jera umpan (bait shyness)  prinsipnya tidak ada, yang ada adalah respons populasi tikus di dalam menghindari satu titik atau lokasi dimana pernah ada tikus yang menderita sakit  dan meninggalkan jejak sebelum mati, Meskipun bangkainya dibuang tetapi jejak yang ditinggalkan masih bertahan sampa beberapa hari atau sampai ada  hujan turun.
2. Masa bunting tikus yang selalu bersamaan dengan masa bunting padi adalah satu kebetulan atau koinsidensi.
3. Tikus sama sekali tidak cerdik, mereka bisa bergerak cepat dan aman karena dipandu oleh jejak pakan dan mereka terhindar dari umpan beracun karena naluri
4. Informasi tikus cerdik dan tidak mau makan umpan dengan racun kronis perlu diragukan, karena ada kemungkinan umpan tidak diletakkan di jejak pakan, sedangkan umpan yang diletakkan tidak di jejaknya hampir tidak pernah dimakan, sebaliknya umpan apapun yang diletakkan di jejak pakan pasti dimakan.
5. Tikus tidak mau makan umpan yang dipegang tangan manusia, rasanya tidak demikian, tikus sering lewat disebelah orang yang sedang tidur, dimana tempat tidur terletak di atas jejak pakannya.
7. Tikus tidak menyukai tempat yang bersih rasanya juga tidak benar, tikus menyukai tempat apa saja sepanjang ada sumber pakan dan air, bahkan di hotel.
8. Dalam kasus serangan, tikus menyisakan tanaman tepi bukan tidak menyukai tempat terbuka, tetapi tidak menyukai suara dengan frekuensi tinggi yang berasal dari serangga2 yang berada di pematang.
9. Wilayah pengembaraan (home range) tikus  bukan lagi satu hamparan saja melainkan beberapa hamparan yang antar banyak  hamparan dihubungan dengan jejak pakan. Jarak kumulatif  antar hamparan terjauh yang pernah diamati berdasarkan jejaknya adalah mencapai 8 kilometer.
         
















Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar