Pendahuluan
Di dalam konteks teknologi
pengendalian dan pengelolaan hama tikus di hamparan sawah, berbagai upaya,
teknologi atau apapun namanya yang bertujuan untuk mengurangi populasi dengan jalan
membunuh tikus dengan berbagai cara ataupun dengan cara menghalangi dan
mengusir selama ini tidak pernah memberikan hasilnya yang nyata dalam arti bisa
diterapkan petani dan berkelanjutan. Berapa ribu ekor tikuspun yang mati karena
diracun, ditangkap, dibunuh, diusir atau perlakuan2 lain, relatif tidak
pernah berpengaruh pada pengulangan serangan dan luasannya pada tahun2
berikutnya pada hamparan atau bahkan petakan yang sama.
Pengendalian populasi dan serangan
tikus semestinya bisa dilakukan dengan lebih baik bahkan dengan
berprinsip pada perlindungan tanaman, pengendalian tikus bisa dilakukan tanpa
harus membunuh seekor tikuspun dengan biaya yang relatif murah dengan hasil
pengendalian yang lebih pasti. Untuk dapat melakukan pengendalian populasi
tikus dengan baik ada banyak hal yang mungkin perlu diketahui dan
dipelajari oleh para petugas lapangan dan kelompok2 tani, salah satunya adalah
Dinamika populasi tikus dan perilakunya ”in situ” menyangkut bagaimana
cara tikus bertahan, berkomunikasi, menyerang dll.
Dengan memahami dinamika populasi
dan perilakunya, para petugas lapangan dan kelompok tani bisa menentukan
sendiri cara pengendalian hama tikus yang lebih praktis dan efisien untuk
daerahnya masing2 yang bersifat spesifik.
Adapun beberapa hal menyangkut
dinamika populasi dan perilakunya di lapangan di dalam konteks pengelolaan hama
tikus diantaranya sebagai berikut
Dinamika populasi
1.Komunikasi di dalam komunitas
tikus
Salah satu faktor yang sangat
mendukung survivalitas dan mobilitas tikus di habitat aslinya ( in situ) adalah
jejak2 yang ditinggalkan oleh sesama tikus, dimana setiap ekor tikus akan
selalu meninggalkan jejak yang memberikan informasi tertentu kepada tikus
lain yang menemukan jejak tersebut. Ada 2 macam informasi yang sudah dipelajari
yaitu informasi mengenai adanya sumber pakan yang memadai dan aman (Jejak
pakan) dan informasi adanya ancaman (Jejak bahaya).
1.1. Jejak pakan
Kemanapun tikus berjalan untuk
mencari sumber pakan akan selalu mengikuti jejak lama dan meninggalkan
jejak2 baru yang akan membawanya kembali ke sarangnya. Jejak yang terbentuk
mirip keringat atau minyak dengan bentuk tidak teratur yang berpasangan mirip
testis, karena memang berasal dari sekitar testis. Jejak ini sulit
dilihat secara visual karena transparan dan sangat tipis, tetapi diatas kain
kover oskar berwarna hitam jejak ini terlihat sangat jelas.
Pada saat tikus sudah mendapatkan
makanan yang memadai, jejak yang ditinggalkan nampak lebih tebal dan semua
tikus disekitarnya yang menemukan jejak ini akan mulai mengikuti jejak
ini ke tempat sumber pakan, sehingga semakin lama jejak yang ditinggalkan
ini akan semakin tebal dan berbau sangat menyengat.
Di tanah, kayu, plastik atau bahkan
lantai, jejak ini bisa bertahan sangat lama yang belum bisa diketahui
berapa tahun karena dari pengamatan eksperimen, jejak yang ditutup selama 4
tahun (1 siklus eksperimen), saat dibuka ternyata masih bisa dikenali dan tikus
yang datang kemudian akan lewat tepat diatas jejak lama.
Percobaan untuk mencuci jejak baru
diatas kain oskar berkali2 menggunakan detergen tidak mampu menghilangkan
informasi yang tertinggal, meskipun secara visual berhasil menghapus jejaknya,
tetapi tikus2 yang datang kemudian tetap masih mampu mengenalinya.
Di lapangan masalahnya kurang lebih
sama bahkan lebih jelas, jalan tikus yang berada di semak2 atau rerumputan pada
dasarnya adalah jejak pakan yang akan bertahan sampai dengan waktu yang tidak
bisa diprediksikan karena tidak ada gulma yang bisa tumbuh pada pada
jejak ini. Pada musim hujan dimana gulma tumbuh subur dan tebal, tetapi jejak
tikus tetap masih mudah ditemukan.
Jejak pakan bisa dikatakan
merupakan jalur kehidupan utama komunitas tikus yang abadi yang
menghubungkan sarang ataupun daerah hunian dengan petak2 pertanaman
bahkan lebih dan itu juga mengubungkan hamparan satu dengan hamparan lain
yang berjauhan. Meskipun satu ketika populasi tikus di satu tempat bisa
dipastikan total dikendalikan tetapi pada kesempatan atau musim atau
tahun berikutnya tikus2 dari hamparan lain tetap akan datang kembali dan
memanfaatkan jalur pakan lama.
Pada petak atau hamparan yang pernah
terserang tikus, bisa dipastikan ada jejak pakan dan selamanya akan beresiko
dengan serangan tikus.
Di dalam keadaan berjalan dan
berlari tikus tidak mengandalkan indera mata atau sekedar indera penciuman
biasa, tetapi lebih mengandalkan indra penciuman mirip kelelawar. Sepanjang
berada diatas jejak pakan, tikus bisa berlari sangat cepat dan bisa
masuk lobang dengan tepat tanpa kesulitan dan tanpa ada gerakan mengurangi
kecepatan. Di dalam percobaan dengan menutup lobang, pada
saat tikus tidak menemukan lobang dan lepas dari jalur pakan akan kehilangan
orientasi, tidak bisa berlari cepat dan mudah ditangkap.
Serangan tikus akan ditentukan oleh
jejak pakan yang ditinggalkan oleh tikus yang pertama kali mendapatkan sumber
pakan yang memadai dan aman, dalam arti tikus tersebut bisa kembali ke
sarangnya. Adapun urut2an peristiwa serangan tikus dapat dijelaskan secara
sederhana sebagai berikut:
Sesaat setelah musim kawin dimulai,
populasi tikus mulai bergerak soliter menyebar mencari sumber pakan ke semua
arah yang pernah dilalui dengan mengikuti jejak lama. Sebelum mendapatkan pakan
yang memadai, pergerakan populasi tikus masih belum terarah dan mereka kembali
ke sarangnya masing2 tanpa meninggalkan jejak yang berarti. Beberapa hari
kemudian, setelah satu atau beberapa ekor tikus mendapatkan sumber pakan
yang aman, pada saat kembali ke basisnya akan meninggalkan jejak yang
memberikan informasi adanya sumber pakan di satu tempat yang aman.
Gambar : Sketsa awal penyerangan tikus
Secara bertahap tikus2 lain
yang menemukan jejak tersebut akan mengikuti jejak pendahulunya ke sumber
pakan tersebut dan dalam waktu beberapa hari mulai terjadi konsentrasi populasi
di titik2 serangan dan gejala kerusakan mulai terlihat, begitu seterusnya
sampai terjadi kerusakan yang meluas.
Kalaupun tikus yang datang semuanya
tertangkap, tetapi beberapa hari kemudian akan terus datang tikus2 baru akan
menuju ketempat semula. Berdasarkan kenyataan ini , serangan tikus pada
dasarnya adalah telah terjadi konsentrasi populasi tikus ke titik2 tertentu
atau titik serangan
Gambar: Sketsa tahap serangan
Serangan atau populasi
tikus yang masuk ke daerah konsentrasi tidak akan berpindah ke tempat lain
sepanjang sumber pakan masih cukup. Mereka akan berpindah mencari tempat lain
apabila pakan sudah tidak memadai lagi dan masa kawin belum selesai.
Sebagai catatan, petakan yang sudah
pernah terserang tikus, berpotensi terserang kembali pada tahun2 berikutnya,
sedangkan yang belum pernah terserang tikus sama sekali relatif aman
karena tikus hanya menyerang petakan yang pernah terserang.
1.2. Jejak bahaya
Pada saat ada seekor tikus mengalami
tekanan fisik yang menyebabkan kesakitan akibat serangan
binatang lain, dipukul, atau akibat makan racun akut, akan mengeluarkan
air seni yang bisa dikenali dengan baik oleh tikus lain (jejak bahaya) meskipun
bangkainya dibuang dan bentuk respon tikus yang menemukan air seni ini
bervariasi. 1.
Dalam keadaan berlari kencang, beberapa cm sebelum mencapai titik tersebut,
seekor tikus akan bereaksi dan meloncat membentuk gerak peluru tepat di
atas titik tersebut.
2. Dalam keadaan berlari dan
didepannya ada penghalang, reaksinya adalah membuat gerakan meloncat
berbalik arah
3. Dalan keadaan berjalan pelan, beberapa
cm sebelum mencapai titik tersebut, tikus akan mengubah arah mencari
tempat serangan baru atau berjalan kembali ke tempat asal.
Bedanya dengan jejak pakan, jejak
bahaya ini hanya bertahan beberapa hari saja, bahkan dengan mencuci bekasnya
atau adanya hujan, jejak bahaya akan langsung terhapus dan setelah itu tikus
yang datang berikutnya akan kembali melalui jalur tersebut. Fenomena jejak
bahaya ini sebetulnya sudah banyak terjadi di dalam kehidupan sehari hari,
hanya saja tidak diperhatikan.
Sebagai contoh:
Perangkap tikus yang menggunakan per
umumnya hanya akan berhasil sekali saja dalam waktu tertentu, setelah
waktu itu tikus bisa tertangkap lagi, akan tetapi apabila setiap
ada tikus tertangkap langsung dilakukan pencucian, dalam waktu singkat akan ada
tikus lagi yang tertangkap
Di lapangan ada kepercayaan petani,
bahwa apabila diberi umpan dengan racun akut tikus akan mengamuk dan
serangannya akan meluas. Awalnya kepercayaan ini dianggap berbau mistik, tetapi
dengan dikenalinya jejak bahaya ini, apa yang menjadi kepercayaan masyarakat
tempo dulu masuk tidak berlebihan dan logis.
2. Perioda serangan
Serangan tikus pada tanaman padi
atau tanaman pangan lainnya tidak terjadi setiap saat, tetapi pada saat2
tertentu yaitu pada saat musim kawin. Pada saat musim kawin usai, populasi
tikus hanya menimbulkan sedikit kerusakan, kecuali menjelang puncak musim
kemarau, meskipun aktivitas merusaknya rendah tetapi populasi arealnya telah
mencapai maksimum ditambah dengan kerusakan oleh tikus anakan.
Berbeda dengan yang terjadi di
laboratorium dimana dalam waktu satu tahun seekor induk bisa melahirkan
sebanyak empat kali setahun, di lapangan masa kawin tikus yang bisa dikenali
adalah 2 kali selama satu tahun, yaitu antara bulan November – Januari dan
antara bulan April-Juni. Musim kawin tikus umumnya terjadi secara simultan pada
cakupan wilayah yang sangat luas, sampai dengan antar pulau, pada daerah yang
pola curah hujan sama.
Di bawah kondisi normal, paska
kemarau normal, pada musim kawin pertama populasi areal tikus sangat rendah dan
intensitas kerusakannya sangat rendah sehingga relatif tidak pernah
terdeteksi, kecuali areal sawah yang terletak di dekat sumber2 air seperti rawa2
dan reklamasinya.
Musim kawin kedua atau musim puncak
serangan tikus adalah pada awal musim kemarau, karena pada saat itu sudah
terjadi akumulasi populasi areal selama satu musim tanam dan serangan tikus
yang menjadi masalah serius setiap tahun adalah serangan pada musim kawin
kedua.
Musim kawin tikus selalu bersamaan
dengan musim kawin anjing, sehingga pada saat anjing jantan mulai ribut mencari
pasangan, populasi tikus di sawah juga mulai aktif mencari pasangan, artinya
perioda serangan tikus telah dimulai. Di dalam hal ini perilaku anjing bisa
digunakan sebagai indikator awal serangan tikus yang sangat valid dan belum
pernah berubah selam 30 tahun pengamatan.
Musim kawin tikus di awal kemarau
dimulai pada bulan April dan seringkali dimulai pada hari2 istimewa seperti
Selasa Kliwon dan Jum’at kliwon di sekitar perioda purnama. Dengan memasang
umpan tanpa racun di sekeliling hamparan jauh sebelum musim kawin dimulai dan
dengan pengamatan harian akan bisa diketahui waktu yang pasti kapan populasi
tikus mulai bergerak.
Akhir musim kawin tikus ditandai
dengan ditutupnya lubang2 persembunyian dengan tanah yang berarti tikus2 betina
segera melahirkan dan pada saat itu serangan hampir sepenuhnya berhenti (cease
fire). Fenomena ini dikenali dengan baik oleh petani tradisional dengan istilah
”tikus ngudit atau ngunthuk”.
Di dalam banyak kasus, serangan
tikus masih menyisakan beberapa baris tanaman saja di tepi pematang yang sering
ditafsirkan sebagai bagian dari perilaku tikus yang tidak menyukai tempat
terbuka dan salah satu anjuran dimasa silam yang berhubungan dengan hal ini
adalah mengurangi satu barisan tanaman setiap beberapa baris, yang
dikenal dengan istilah “Legowo”. Salah satu sifat tikus adalah sangat
sensitif dengan suara frekuensi tinggi sehingga tikus tidak makan tanaman
di bagian tepi adalah sematamata menghindar dari gangguan suara dengan
frekuensi tinggi yang ditimbulkan oleh berbagai jenis serangga yang
berada di pematang sawah seperti orong2, jangkrik, gangsir, belalang dll. Pada
petakan2 yang menggunakan insektisida intensif, pada saat terjadi
serangan tikus hampir2 tidak menyisakan tanaman tepi.
Berdasarkan pada masa kawinnya di
musim kemarau, besarnya kehilangan hasil akibat serangan tikus sangat
ditentukan oleh waktu tanamnya menurut sistem kalender. Tanaman padi dengan
masa tanam bulan April memiliki resiko kehilangan hasil paling tinggi dan
pertanaman bulan berikutnya secara gradual resikonya semakin rendah.
Petani tradisional sangat memahami hal ini, sehingga program percepatan tanam
di daerah endemik tikus untuk meningkatkan IP sampai dengan 300% umumnya
tidak dipatuhi karena mereka sadar betul resikonya. Para petani umumnya
mulai menanam padi sekitar akhir April dimana semakin mundur saat
tanamnya rekoveri akibat serangan tikus semakin tinggi.
3. Perioda ”momong” (mengasuh
anak)
Pada saat tikus kecil sudah mulai
bisa berjalan, mereka akan ikut kemanapun induknya pergi sampai dengan saatnya
disapih. Pada perioda ini kerusakan tanaman lebih banyak disebabkan oleh
tikus kecil yang mulai belajar memanjat batang padi dan mengerat leher malai
padi, akibatnya malai padi yang menjelang dipanen berserakan dibawah. Pada saat
induknya mulai berjalan mereka turun dan naik lagi saat induknya berhenti,
begitu seterusnya, sehingga dari satu induk dengan minimal 6 ekor anaknya,
kerusakan yang diakibatkan sudah bisa diperkirakan. Kasus kerusakan oleh anakan
tikus lebih banyak terjadi pada musim kemarau, pada pertanaman yang masa
tanamnya paling akhir, sedangkan di musim hujan kasus ini jarang ditemukan.
Kasus ini sudah sebenarnya sudah
dikenali dengan baik oleh petani masa lalu yang menggambarkan kerawanan situasi
akibat serangan tikus pada masanya sebagai akibat adanya yang ”momong” atau
yang mengasuh, hanya saja istilah momong ditafsirkan oleh generasi berikutnya
sebagai sesuatu yang berbau mistik.
4, Perioda emigrasi dan depopulasi
Di laboratorium dari sepasang tikus
selama setahun akan menghasilkan populasi tikus sebanyak 2000 ekor lebih dan
sulit dibayangkan apabila kondisi di laboratorium terjadi juga di lapangan,
pasti tidak akan pernah ada tanaman padi atau tanaman pangan lainnya. Kenyataan
di lapangan luasan serangan tikus hampir konstant setiap tahun, kalaupun ada
perbedaan pada data statistik itu lebih disebabkan oleh cara pengambilan data
di lapangan yang tidak obyektif dan adanya perubahan jadwal tanam tahunan atau
terjadi penyimpangan pola curah hujan.
Sesaat setelah panen pada musim
kemarau (gadu), saluran irigasi telah ditutup dan sawah mulai kering populasi
areal tikus mulai bergeser ke daerah yang lebih rendah dan terus bergerak ke
hilir mengikuti ketersediaan air jauh dari lokasi awalnya.
Pada puncak kemarau, dimana suhu
permukaan tanah mencapai puncaknya dan gulma telah kering, sangat sulit
menemukan seekor tikuspun di lahan sawah teknis dan semua lubang
tikus tidak berpenghuni. Dalam satu kesempatan, di tengah malam pernah
dijumpai populasi tikus dalam jumlah luar biasa banyak berkumpul memenuhi
saluran pembuangan sepanjang beberapa ratus meter. Tikus2 ini hanya berjalan
kian kemari berdesak desakan dan tidak mengeluarkan suara sedikitpun dan
sayangnya peristiwa ini hanya terjadi satu malam saja.
Pada saat air betul2 habis, dibawah
kondisi kemarau panas dan kering sifat sosial tikus hilang dan yang
muncul adalah sifat kanibal, dimana tikus yang lemah akibat panas dan haus akan
menjadi mangsa tikus2 yang lebih sehat dan populasi areal tikus yang survive
akan menjadi populasi areal awal di awal musim penghujan.
Di dalam percobaan simulasi, tikus
yang tidak mendapatkan air dalam waktu beberapa hari akan mati, meskipun pakan
masih banyak dan apabila terdapat lebih dari satu ekor tikus dalam satu ruang
(sangkar) peristiwa kanibalisme akan terjadi.
Setinggi apapun tingkat populasi
areal tikus di musim kemarau, pada awal musim hujan akan kembali
pada posisi awalnya, sebaliknya, sebanyak apapun tikus yang berhasil ditangkap
pada gerakan gropyokan di akhir musim kemarau, pada awal kemarau berikutnya
populasi arealnya tidak jauh berbeda dengan kemarau sebelumnya.
5. Perioda migrasi
Setelah beberapa kali turun hujan
menjelang awal musim hujan dan rumput sudah mulai menghijau, secara
bertahap populasi tikus mulai berdatangan dan mulai menghuni lubang2 lama yang
kosong dan masa kawin pertama dimulai.
6. Faktor pembatas dan musuh
alam
Tikus hampir2 tidak mempunya faktor
pembatas efektif yang berasal dari kelompok living organism, seperti predator,
pathogen dll. Pada tanaman pangan umumnya, burung hantu, ular, kucing
dll., hanya sekedar memangsa tikus pada saat lapar dan setelah kenyang mereka
tidak aktif. Hewan2 tersebut meskipun dikatakan sebagai musuh alam tetapi tidak
berpengaruh terhadap pengurangan luas maupun kasus serangan setiap tahun.
Berbeda halnya dengan anjing, yang
mungkin merupakan satu-satunya hewan yang sangat efektif untuk
mengendalikan tikus, anjing tidak makan tikus dewasa, mereka hanya
sekedar memburu dan membunuh saja tetapi sangat menyukai tikus2 kecil yang
masih berwarna merah. Anjing yang terlatih mampu memburu dan menangkap beberapa
ekor tikus dalam waktu singkat di tengah pertanaman padi, yang tidak mungkin
dilakukan oleh hewan2 lain.
Faktor pembatas efektif populasi
tikus di hamparan adalah curah hujan yang berhubungan dengan ketersediaan air,
sumber pakan dan kanibalisme. Di akhir musim kemarau normal dan kemarau
panjang, berapapun banyaknya populasi tikus pada saat itu, pada musim
berikutnya, musim hujan tidak pernah menimbulkan masalah yang berarti, yang
berarti populasinya di awal musim hujan sangat rendah dan ini merupakan
fenomena rutin. Suatu perkecualian adalah hamparan sawah di tepi saluran
pembuangan, di tepi rawa atau reklamasinya.
Pada saat terjadi penyimpangan
cuaca, dimana curah hujan tinggi terjadi sepanjang tahun, dengan atau
tanpa disertai dengan munculnya fenomena la nina, populasi tikus di akhir musim
kemarau sebagian atau semuanya akan menjadi populasi awal di musim hujan
dan tikus sudah akan menjadi masalah sejak musim hujan sampai dengan
musim berikutnya musim kemarau. Di bawah kondisi curah hujan tinggi di musim
kemarau, vegetasi gulma di sawah bera atau disekitar sawah cukup lebat yang
akan menjadi sumber pakan tikus dan dengan survivalitas tinggi populasi
tikus masih bertahan di sekitar petakan2 endemik.
Contoh kasus besar yang berhubungan
dengan penyimpangan cuaca adalah peristiwa munculnya fenomena la nina tahun
1998 dimana sepanjang tahun 1999 luas serangan tikus di seluruh daerah
endemik tikus sangat tinggi.
Rangkuman:
Dari uraian diatas, ada beberapa
gambaran yang lebih jelas menyangkut pengendalian tikus dan informasi lapangan
yang proporsional sebagai berikut:
1.Pengendalian
1. Berdasarkan pada dinamika
populasinya, upaya2 pengelolaan dan pengendalian tikus dan ujicoba2 yang
relevan di lapangan bisa direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih menyangkut
cara, waktu, bahan, alat, lama kegiatan, tenaga pelaksana yang diperlukan,
metoda evaluasi dll.
2. Pengendalian tikus bisa dilakukan
dengan baik tanpa harus membunuh satu ekor tikuspun, cara ini merupakan
alternatif di daerah2 sentra beras dimana sebagian petani atau masyarakat yang
dengan keyakinannya menolak untuk membunuh.
3. Setelah panen di musim kemarau
tidak penting untuk melakukan gropyokan, karena alam telah mengatur
keseimbangannya, kecuali apabila pada saat itu terjadi curah hujan
berkepanjangan sampai dengan puncak musim kemarau dan rumput di lahan
masih segar.
4. Penyimpangan curah hujan di satu
daerah endemik dan informasi munculnya fenomena la nina, bisa digunakan
sebagai dasar peramalan untuk mengantisipasi serangan tikus pada musim
berikutnya .
2. Informasi yang perlu dikoreksi
1. Istilah jera umpan (bait
shyness) prinsipnya tidak ada, yang ada adalah respons populasi tikus
di dalam menghindari satu titik atau lokasi dimana pernah ada tikus yang
menderita sakit dan meninggalkan jejak sebelum mati, Meskipun bangkainya
dibuang tetapi jejak yang ditinggalkan masih bertahan sampa beberapa hari atau
sampai ada hujan turun.
2. Masa bunting tikus yang selalu
bersamaan dengan masa bunting padi adalah satu kebetulan atau koinsidensi.
3. Tikus sama sekali tidak cerdik,
mereka bisa bergerak cepat dan aman karena dipandu oleh jejak pakan dan mereka
terhindar dari umpan beracun karena naluri
4. Informasi tikus cerdik dan tidak
mau makan umpan dengan racun kronis perlu diragukan, karena ada kemungkinan
umpan tidak diletakkan di jejak pakan, sedangkan umpan yang diletakkan tidak di
jejaknya hampir tidak pernah dimakan, sebaliknya umpan apapun yang diletakkan
di jejak pakan pasti dimakan.
5. Tikus tidak mau makan umpan yang
dipegang tangan manusia, rasanya tidak demikian, tikus sering lewat disebelah
orang yang sedang tidur, dimana tempat tidur terletak di atas jejak pakannya.
7. Tikus tidak menyukai tempat yang
bersih rasanya juga tidak benar, tikus menyukai tempat apa saja sepanjang ada
sumber pakan dan air, bahkan di hotel.
8. Dalam kasus serangan, tikus
menyisakan tanaman tepi bukan tidak menyukai tempat terbuka, tetapi tidak
menyukai suara dengan frekuensi tinggi yang berasal dari serangga2 yang berada
di pematang.
9. Wilayah pengembaraan (home
range) tikus bukan lagi satu hamparan saja melainkan beberapa
hamparan yang antar banyak hamparan dihubungan dengan jejak pakan. Jarak
kumulatif antar hamparan terjauh yang pernah diamati berdasarkan jejaknya
adalah mencapai 8 kilometer.
Posted in: Hama
Penyakit Tags: Dinamika populasi tikus, jera umpan,
komunikasi dalam komunitas tikus, musim
kawin anjing, musim kawin tikus, populasi
areal tikus, serangan tikus, sifata
kanibal tikus
0 comments:
Posting Komentar